Selasa, 26 April 2011

HIDAYAH IMAN DAN ISLAM

Oleh Hanan Wihasto, Sharia Division BTN Pusat

Hidayah iman dan islam adalah merupakan hidayah dan kenikmatan tertinggi yang patut disyukuri. Tanpa hidayah iman dan islam, manusia laksana jasad tanpa ruh...berjalan kesana kemari tanpa mempunyai tujuan hidup yang jelas, terombang-ambing dalam kegelapan.
Orang yang mendapat hidayah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Selalu mencari ridlo Allah
2. Segala sesuatu/perkara dikembalikan pada aturan Allah
3. Selalu mengikuti aturan Allah
4. Bathinnya selalu tenang
5. Arah hidupnya jelas
6. Mampu memecahkan masalah hidup
7. Pikirannya tajam, akhlaq dan lisannya bagus
8. Selalu positive thinking

******* Januari 2011

ORANG KECIL ORANG BESAR (JANGAN ABAIKAN AMANAH....)

Oleh HANAN WIHASTO

SHARIA DIVISION-BTN PUSAT
Suatu hari yang tak cerah
Di dalam rumah yang gerah
Seorang anak yang lugu
Sedang diwejang ayah-ibunya yang lugu
Ayahnya berkata:
Anakku,
Kau sudah pernah menjadi anak kecil
Janganlah kau nanti menjadi orang kecil!
“Orang kecil kecil perannya
kecil perolehannya,” tambah si ibu
“Ya,” lanjut ayahnya
“Orang kecil sangat kecil bagiannya
anak kecil masih mendingan
Rengek Ayah dan Ibu berganti-ganti menasehati:
“Ingat, jangan sampai jadi orang kecil
Orang kecil bila ikhlas diperas
Jika diam ditikam
Jika protes dikentes
Jika usil dibedil,”
“Orang kecil jika hidup dipersoalkan
Jika mati tak dipersoalkan, jika hidup tidak didengarkan
Suaranya tidak diperhitungkan
Orang kecil tak boleh memperdengarkan rengekan
Suaranya tak suara,”
Sang Ibu wanti-wanti:
“Betul jangan sekali-kali jadi orang kecil
Orang kecil bila jujur ditipu
Jika menipu dijur
Jika bekerja digangguin
Jika mengganggu dikerjain,”
“Lebih baik jadi orang besar
Bagiannya selalu besar.”
“Orang besar jujur-tak jujur makmur
Benar-tak benar dibenarkan
Lalim-tak lalim dibiarkan.”
“Orang besar boleh bicara semaunya
Orang kecil paling jauh dibicarakannya saja.”
“Orang kecil jujur dibilang tolol
Orang besar tolol dibilang jujur
Orang kecil berani dikata kurangajar
Orang besar kurang ajar dibilang berani.”
“Orang kecil mempertahankan hak disebut pembikin onar
Orang besar merampas hak disebut pendekar.”
Si anak terus diam tak berkata-kata
Namun dalam dirinya bertanya-tanya:
“Anak kecil bisa menjadi besar
Tapi mungkinkah orang kecil
Menjadi orang besar?”
Besok entah sampai kapan
si anak terus mencoret-coret
dinding kalbunya sendiri:
“Orang kecil ???
Orang besar !!!”
(Dikutip dari Puisi berjudul Orang Kecil Orang Besar, Kumpulan Album Sajak Sajak A.Mustofa Bisri (Gus Mus), 2008).
Puisi di atas sangat menginspirasi saya untuk mengeksplor makna dari suatu amanah. Kegelisahan, kegalauan, kerisauan dalam menjalani kehidupan ini, memaksa saya untuk mengatur “qalbu” ini dari seluruh aspeknya. Komprehensif dalam memandang keadilan yang subyektif dan kesuksesan yang “maya”, memenangkan diri untuk memperoleh “ketenangan”. Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban). Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58).
Ayat di atas menegaskan bahwa amanah tidak melulu menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Kata-kata adalah amanah. Menunaikan hak Allah adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik adalah amanah. Ini diperkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” Dan keadilan dalam hukum itu merupakan salah satu amanah besar. Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih). Dan Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72). Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah bahwa amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah adalah urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikannya sebagaimana mestinya.
Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri ketidakimanan. Sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban). Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya–, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari). Terlepas kita punya jabatan tinggi atau rendah, kita dianggap orang besar atau orang kecil, amanah menjadi point yang paling “crusial” dalam kehidupan ini. Konsekuensi dari mengabaikan amanah, ditanggung masing-masing individu. Jika dalam lingkup yang kecil seperti di lingkungan kerja kita, semua bekerja dengan amanah, situasi dan kondisi kerja akan menjadi menjadi kondusif yang memungkinkan seluruh sumber daya insani lebih produktif dan termotivasi untuk memberikan kepada institusi ini karya yang terbaik. Pesan terakhir untuk semua pemegang amanah di manapun ; “hentikan semua bentuk nepotisme, berlakulah adil terhadap siapa pun dan jujurlah dengan suara hatinya sendiri, jangan abaikan amanah….!

******* Jakarta, Nopember 2010

Sukses Yang Hakiki

Oleh Hanan Wihasto (DSYA BTN Pusat)


Bila ada yang mengatakan, promosi jabatan adalah ukuran sukses seseorang dalam berkarier di perusahaan. Orang-orang mengangguk-angguk kepala tanda setuju. Tetapi kalau kesuksesan seseorang yang katakanlah bisa menjadi pimpinan tertinggi di suatu perusahaan disebut sebagai kutukan, mungkin akan banyak orang yang mengernyutkan alis sebagai tanda tidak percaya. Terutama karena seseorang terlalu lama manusia telah dibius bahwa kesuksesan adalah sebentuk garis finish kehidupan yang harus dicapai. Kerja keras, belajar keras, mencintai yang keras, semuaya yang serba keras ini dilakukan untuk mencapai kesuksesan. Jumlah saldo di bank yang menggunung, penampilan yang aduhai, nama yang dikenal banyak orang, rumah mewah yang mentereng hanyalah sebagian atribut-atribut kesuksesan yang paling dicari.
Namun, sebagaimana wajah kehidupan yang lainnya sukses juga berwajah ganda. Di satu sisi ia membantu, di lain sisi ia membelenggu. Soal wajah sukses yang membantu tentu telah banyak yang diulas dan dibicarakan. Namun soal wajah sukses yang membelenggu, ini yang mulai banyak mengganggu. Perceraian, perselingkuhan, penyakit akibat bekerja terlalu keras, bahkan permusuhan serta peperangan bisa menjadi akibat dari sukses yang membelenggu.
Tokoh-tokoh motivator seperti Mario Teguh, Gede Prama, Jamil Azzaini, Erbe Sentanu, Arvan Pradiansyah dan lain-lain selalu memiliki pandangan yang berbeda daripada pandangan orang kebanyakan, dalam melihat kesuksesan. Di bawah ini adalah pandangan kesuksesan dari para motivator tersebut dan pandangan penulis dalam melihat kesuksesan.
Sebut saja, kesombongan sebagai ekses dari buah sukses. Terlalu banyak orang sukses kemudian diperangkap oleh kesombongan. Dan mudah ditebak apa yang diperoleh manusia setelah terperangkap kesombongan. Kesuksesan telah membuat manusia berbaju ego tebal, menganggap diri paling tinggi sera menempatkan orang lain dalam posisi yang lebih rendah.
Penyakit kelelahan adalah contoh lain. Ada seorang eksekutif kaya raya yang memperoleh kekayaannya dengan jalan kerja keras. Namun ketika usia menginjak 50an, kemudian sakit-sakitan, seluruh kekayaan habis untuk berobat. Bahkan, ketika kekayaan habispun, penyakit belum kunjung pergi. Ada juga cerita tentang pria setia yang demikian setianya pada keluarga sampai-sampai harus pulang malam terus dari tempat kerja. Namun begitu jadi orang kaya, kesetiaannya entah pergi kemana. Kesuksesan harus dia bayar dengan perceraian.
Inilah sekelumit wajah kesuksesan yang memenjara. Sukses (terutama materi) yang dikejar dan tidak sedikit biaya dari sekolah yang keras, belajar yang keras, sampai dengan kerja yang keras, bahkan tidak sedikit yang membayarnya dengan harga yang lebih besar lagi, berupa perceraian dan berantakannya rumah tangga, ternyata tidak membebaskan. Sebaliknya malah menjadi penjara-penjara yang menyengsarakan.
Mario Teguh mengatakan, apalah artinya kita sukses di kantor, jika di rumah seperti kucing dan anjing dengan anak-anak dan isteri kita.
Erbe Sentanu mengatakan, keikhlasan adalah kunci sukses dalam menggapai kehidupan ini. Pikiran yang sukses tidak semata-mata dalam bentuk materi tetapi berupa properti atau kekayaan batin. Sehingga mind set ”Positive Thinking” harus digeser ke mind set ”Positive Feeling”.
Tentu tidak disarankan kalau dari sini, banyak sahabat yang takut akan kesuksesan. Tidak disarankan juga menggunakan argumen dalam tulisan ini untuk menghakimi banyak orang sukses. Yang memerlukan permohonan mendalam dalam hal ini, bagaimana membuat sukses yang menelan biaya yang demikian besar ini bukannya memenjara, sebaliknya malah membuat hidup semakin terbebaskan?
Rute menuju ke sebuah tempat memang tidak pernah satu. Salah satu rute yang layak direnungkan dalam mencapai sukses yang membebaskan adalah dengan mencermati pikiran. Gede Prama secara khusus mengutip pendapat seorang guru bahwa mind is a good servant but a bad master. Sebagai pembantu, memang pembantu yang amat mengagumkan. Namu sebagai penguasa, pikiran juga penguasa yang demikian memenjara. Secara lebih khusus lewat sifat pikiran yang hanya mengerti melalui dualitas. Tidak saja penyakit yang memenjara, sehat juga memenjara. Terutama kalau sehat keudian berharap selamanya sehat walafiat. Tidak saja terangkap karena kebahagiaan menghadirkan keserakahan untuk tidak mau berganti situasi.
Sukses sebagai hasil olahan pikiran juga serupa. Tidak saja gagal memenjara, sukses juga memerangkap. Tertama karena kesuksesan diikuti oleh keterikatan agar sukses abadi. Akibatnya, kesuksesan disertai banyak ketakutan. Inilah salah satu awal sukses yang memenjara.
Gede Prama memberikan saran sederhana tetapi mengagumkan, ”try not to a take to any thought that arise in your mind!” Rupanya, keterikatan berlebihan terhadap apa saja yang muncul di pikiran bisa memenjara. Sehingga, apapun gambar yang muncul dipikiran, lebih disarankan untuk berjarak seperlunya. Tidak saja dengan kegagalan, dengan kesuksesan juga perlu berjarak. Ketika manusia berhasil berjarak terhadap seluruh dualitas (baik-buruk, sukses-gagal, bahagia-menderita) disarankan hanya dilihat. Persis seperti melihat gambar-gambar sinetron di televise. Semuanya berganti terus menerus. Dan yang melihat bisa berjarak terus tanpa perlu terpengaruh berlebihan. Alloh SWT berfirman orang yang sukses bukanlah orang jabatan dan kekuasaannya tinggi, bukanlah orang yang kaya, bukanlah orang yang fisiknya mengagumkan, tetapi : “orang yang mulia di sisiKU adalah orang yang bertaqwa”, itulah kesuksesan yang hakiki……!

########### DSYA, 12 Oktober 2009