Senin, 13 April 2015

KELEGAAN BERIMAN

KELEGAAN BERIMAN


النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
 “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman? Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang-orang yang tidak mengerti” (QS Yunus [10]: 99-100)
 AKAL SEHAT DAN IMAN
Iman merupakan pondasi awal bagi seseorang dalam kehidupan beragama. Iman merupakan anugerah yang tiada tara dan nikmat terbesar yang diterima manusia dalam hidupnya. Sebab, dengan iman seseorang telah berpotensi untuk menjadi manusia baik yang akan mendapatkan tempat di sisi Tuhan dan sesama makhluk. Iman merupakan cahaya hati dan totalitas sikap yang akan menyelamatkan seseorang dari ancaman murka Tuhan. Tanpa iman, seseorang tidak memiliki masa depan baik di akhirat kelak. Semua amal baik yang pernah dilakukannya tak berpahala sama sekali.
Iman hanya identik dengan manusia yang berakal sehat. Sebab iman merupakan sikap yang muncul dari respon logika. Iman bukan sekedar sebuah sikap ikut-ikutan tanpa kesadaran atau dasar. Iman yang benar timbul melalui proses perenungan (nalar) setelah ditawarkan sebuah penjelasan logis dari bukti-bukti kongkret tentang adanya sesuatu yang abstrak namun niscaya di luar obyek indra manusia. Yakni tentang eksistensi Tuhan, adanya kehidupan pasca kematian, pahala, siksa, dan hal-hal gaib lainnya.
Namun sayang, faktanya kebanyakan manusia di muka bumi yang mayoritas dianugerahi akal sehat itu tidak serta-merta menjadi orang yang beriman (mu’min). Mereka bukannya tidak mendengar tentang berita-berita yang bersumber dari ajaran agama atau tidak mendapatkan informasi mengenai ajaran samawi yang dibawa oleh para utusan Tuhan alam semesta itu. Tetapi akal sehat dan indra mereka hanya berhenti pada memahami hal yang bersifat materi dan indrawi. Hal itu karena iman merupakan sebuah anugerah yang tidak semua orang mendapatkannya.
Iman bukanlah suatu keniscayaan sikap manusiawi ketika seseorang telah berpikir jernih tentang eksistensi semesta. Akal sehat bukanlah satu-satunya pembuka jalan kesadaran bagi jiwa seseorang untuk dapat beriman sebagai respon logikanya. Kecenderungan manusia masih lebih mudah mempercayai hal-hal yang bersifat kongkret dan empiris. Tidak semua jiwa mampu menangkap “pesan” alam semesta untuk kemudian melahirkan sikap iman pada “kekuatan” di baliknya yang tak lain adalah Tuhan Sang Pencipta. Sebab iman tidak diberikan kepada setiap orang oleh Allah SWT.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia yang dianugerahi akal dan nalar sehat sudah semestinya mampu menangkap pesan-pesan Tuhan, baik yang berupa ayat-ayat samawi (kitab-kitab Allah) maupun ayat-ayat kauniyah (alam semesta) untuk kemudian diikuti dengan sikap iman yang menjadi konsekuensi logisnya. Tetapi kebanyakan manusia di bumi pada faktanya justeru tidak beriman sebagaimana mestinya. Kebanyakan mereka ingkar dan jauh dari respon logis. Mereka lebih “memilih” bersikap sekuler dan irasional. Mengkufuri kebenaran yang tak terbantahkan.
 BERAGAM HIDAYAH
Para utusan Allah yang membawa ajaran samawi monoteisme (Tuhan Yang Esa) selalu saja mendapati tentangan dengan argumen-argumen tidak logis ketika para utusan itu mengajak kaumnya untuk meninggalkan sikap sekuler (kufur) dan multiteisme (syirik). Mereka bahkan berdalih bahwa sudah cukup dengan mengikuti ajaran nenek-moyang mereka dan tak perlu mengikuti ajaran “baru” yang dibawa oleh para nabi Allah. Padahal nenek moyang mereka selama ini tidak memiliki argumen logis apa pun terkait apa yang mereka yakini. Allah SWT berfirman :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek-moyang kami.” Padahal nenek-moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk” (QS Al-Baqarah [2]: 170).
Petunjuk (hidayah) Allah bagi makhluk-Nya ada beberapa macam. Pertama, hidayah berupa panca indra. Dengan panca indra maka seseorang bisa merasakan segala hal yang bersifat kongkret mulai dari melihat, mendengar, mencium, meraba hingga mengecap rasa. Ini merupakan anugerah luar biasa sehingga makhluk hidup—khususnya manusia—dapat membedakan segala sesuatu yang berguna maupun yang berbahaya baginya.  Dengan demikian maka kehidupannya senantiasa relatif terjaga dari bahaya.
Kedua, hidayah yang berupa akal sehat. Ini yang membedakan seseorang dengan spesies lain dan orang gila. Dengan akal sehat seseorang mampu berpikir logis dan rasional. Mampu belajar, mengamati dan menyimpulkan. Mampu mengembangkan peradaban dan kebudayaan di muka bumi sehingga kehidupan umat manusia menjadi dinamis. Dengan hidayah ini seseorang bisa membina kehidupan sosial yang baik, berinovasi dan berkreasi hingga berimajinasi untuk menjadi lebih maju lagi. Akal ibarat raksasa tidur. Akal adalah anugerah dan sarana hidayah yang luar biasa.
Hidayah yang ketiga adalah firasat (perasaan batin) dan ilham (inspirasi). Keduanya merupakan anugerah yang tidak dimiliki oleh setiap orang dalam setiap waktu sebagaimana hidayah pertama dan kedua di atas. Jika panca indra dan akal sehat bisa menjadi alat sewaktu kita perlukan untuk mendapatkan yang kita inginkan, maka ilham dan firasat tidak bisa datang sesuai kemauan kita. Firasat dan ilham merupakan bentuk petunjuk (hidayah) yang tidak kalah penting bagi umat manusia. Nabi SAW pernah bersabda :
اتَّقُوا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ
“Waspadalah terhadap firasat orang mu’min, sebab dia melihat dengan cahaya Allah” (HR At-Turmudzi dari Abi Sa’id al-Khudri r.a.).
Hidayah keempat adalah kenabian dan kerasulan. Hidayah yang satu ini merupakan hidayah yang melebihi hidayah-hidayah sebelumnya. Sebab hidayah ini tidak hanya terkait dengan hal-hal yang bersifat empiris saja. Kerasulan dan kenabian merupakan sunnah (cara) Allah untuk menyelamatkan umat manusia di dunia hingga akhirat. Hidayah ini Allah titipkan kepada orang-orang tertentu yang dipilih-Nya untuk disampaikan kepada sebagian umat atau seluruh umat. Ada nabi-nabi yang diutus oleh Allah untuk kaum atau komunitasnya sendiri, dan ada pula yang diutus kepada seluruh umat manusia sebagaimana Nabi Muhammad SAW.
Hidayah ini merupakan informasi ilahi yang menjamin kemaslahatan dan keselamatan para pengikutnya. Baik dalam kehidupan dunia yang sedang kita jalani ini maupun alam pasca kematian nanti. Hidayah ini ada sebagian umat yang merespon baik dengan beriman dan mengikutinya. Namun ada pula yang menolak, mengingkari bahkan menentangnya. Untuk hidayah ini, Allah SWT senantiasa memperbaharuinya dengan mengutus para nabi dan rasul, kecuali pasca kerasulan Nabi Muhammad SAW. Maka yang melanjutkan ajaran beliau bukanlah para nabi melainkan para ulama dari generasi ke generasi hingga menjelang kiamat kelak.
Hidayah keempat tadi baru menjadi penyelamat manusia manakala disertai dengan hiadayah kelima, yakni hidayah (petunjuk) yang datang langsung dari sisi Allah SWT. Sebagaimana pada ayat di atas maka tak satu pun manusia bisa beriman kecuali jika mendapatkan izin Allah. Yakni dikehendaki beriman oleh Allah SWT. Tidak niscaya seseorang yang telah didakwahi oleh seorang rasul atau nabi lantas beriman jika pintu hatinya tidak dibuka oleh Allah SWT. Mata yang belalak tidak menjadikan dia bisa melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Telinga yang mendengar tidak serta-merta bisa menangkap dengan baik seruan ayat-ayat Allah. Akal yang sehat bukan jaminan seseorang bisa menjadi orang yang beriman. Allah SWT berfirman :
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
  “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (QS Al-Hajj [22]: 46).
 IMAN, PREROGATIF ALLAH SWT
Hidayah kelima sebagaimana di atas merupakan prerogatif Allah SWT. Tak seorang pun dapat membuka hati seseorang jika Allah tidak menghendakinya. Kita berkewajiban menyampaikan apa yang kita tahu mengenai ajaran ilahi (Islam) kepada siapa saja yang bisa kita ajak berkomunikasi. Ajaran ilahiyah merupakan amanat atas setiap umat. Tidak hanya Rasul dan Nabi yang berkewajiban menyampaikan., umat ini pun memiliki tanggung jawab yang sama. Tetapi jika kita sudah menyampaikan dan mereka tidak merespon positif, maka kita tidak perlu bersedih hati melainkan kita tetap menekuni misi mulia tersebut. Seberapa hasilnya nanti maka Allah-lah yang menentukannya.
Kita tidak perlu membenci orang lain karena mereka tidak menyambut ajakan kita. Sebagaimana ayat di atas, maka kita tidak perlu memaksa orang lain, apalagi dengan mengintimidasi atau melakukan teror. Sebab hidayah datang dari Sang Pemilik yakni Allah SWT. Kita tidak punya kemampuan apa pun untuk membuat mereka beriman meskipun segala cara telah kita lakukan, atau bahkan harta-benda kita belanjakan untuk mereka. Hidayah adalah murni milik Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Dalam berdakwah kita harus menempuh cara-cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Misalnya; mendahulukan sifat ramah dan lemah-lembut, kesabaran, istiqamah, komunikatif, dialogis, lapang dada, banyak memaafkan, tidak mengenal putus asa, bahkan dengan ketulusan kasih sayang. Jika semua itu belum membuahkan hasil maka kita tidak perlu berbalik arah dengan memusuhi mereka. Sebab kita hanya berkewajiban menyampaikan dan tidak punya kuasa apa pun atas jiwa mereka. Allah SWT berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
  “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS Al-Qashash [28]: 56)
Iman merupakan sebuah misteri. Sebab iman merupakan perbuatan hati. Dan tak seorang pun tahu akan hati orang lain. Tetapi meski demikian, iman bisa terbaca pada seseorang dari aplikasi amaliahnya setiap saat. Oleh sebab itu menurut sebagian ulama iman bisa memiliki frekuensi dan volume naik-turun sesuai dengan amal yang dilakukan seseorang. Meskipun pada hakikatnya hanya Allah SWT yang tahu akan kualitas imannya. Wallahu A’lamu bish-shawab.