Memberdayakan Diri Pasca Purna Tugas Dengan Mengedepankan Nilai-Nilai Luhur, Menebar Kebaikan, Kebenaran & Menyongsong Akhir Kehidupan Yang Indah serta Husnul Khotimah.
Rabu, 29 Oktober 2014
SEKALI LAGI, TENTANG NPL….
Obrolan Warung Kopi untuk majalah PARAS BTN
SEKALI LAGI,
TENTANG NPL….
Oleh HANAN WIHASTO
SHARIA DIVISION BTN Pusat Jakarta
Inilah waktu yang tepat
bagi kita untuk membicarakan Business
Process dari hulu ke hilir. Tahun 2014 ditutup, tahun 2015 dibuka.
Pencapaian NPL (kalau Syariah sebutannya NPF) yang susah payah dan
terengah-engah membutuhkan effort yang besar dan bertenaga untuk
menanggulanginya. Memang benar, tidak ada bank yang lepas dan bebas sama sekali
dari kredit / pembiayaan macet (Bad
Debt) dan kita semua maklum tidak ada kredit tanpa resiko, oleh karena itu diwajibkan setiap bank memiliki
unit restrukturisasi dan manajemen resiko. Entah darimana asal muasalnya, media
massa pun selalu punya berita. Bicara mengenai performance suatu bank, maka
yang selalu dicecar adalah NPL/NPF. Di seminar, pembukaan jaringan kerja,
laporan keuangan ke investor, dan hearing dengan DPR, para eksekutif yang menakhodai bank dibuat ”keki”
karena pertanyaannya dari itu ke itu saja. Gara-gara kredit yang digelontor ke
real-estate dan leverage buy out (pembiayaan pembelian saham-saham perusahaan)
serta mortgaged di sektor pasar sekunder, perbankan negara adidaya pun termehek-mehek dengan ditandai oleh macetnya
pembayaran nasabah (debitur). Tak heran kalau pendapatannya jadi merosot dan
buru-buru ambil tindakan berupa restrukturisasi sampai dengan perampingan
karyawannya. Itu di Amerika dan Eropa.... ! Semoga di Indonesia tidak seperti
ini, apalagi di Institusi kita, semoga hal ini tidak akan dan tidak pernah
terjadi.
Business Process di kredit / pembiayaan mestinya menjadi
tahapan ”crusial” bagi penentuan apakah debitur itu baik atau tidak. Percepatan
dalam proses kredit yang dikawal dan dilegitimasikan melalui ”Service Level Agrement “ (SLA)
jangan menjadi beban bagi AO dan rentetannya ke back office untuk tidak
prudent. 5 hari harus cair untuk KPR, 7
hari harus putus untuk KYG, jangan menjadi ”gondelan” kita untuk tidak aman dan hati-hati. Prudent wajib
dilaksanakan, tetapi juga jangan lelet
atau lambat dengan alasan prudent. Dari hulu ke hilir, dari nasabah itu
datang (calon debitur) diwawancarai, di OTS jika perlu, disetujui,
dilaksanakannya akad, pembinaan / memaintenancenya dan sampai dengan lunas serta ditawarkannya kembali
untuk tetap menjadi nasabah kita, merupakan rangkaian Business Process yang selayaknya dicermati dengan cepat, seksama, teliti dan trengginas.
Belum lagi kalau produk itu KYG atau modal kerja lainnya, betapa mengenali
nasabah (calon debitur) menjadi wajib
ain’ untuk memastikan kelayakan
proyeknya. Verifikasi, konfirmasi dan
On the spot (OTS) langsung ke lapangan menjadi suatu keniscayaan, untuk
memastikan kebenaran data-data tertulis dengan wujud riil di lapangan. Sehingga
tidak ada istilah ”tidak tahu”
untuk seorang AO terhadap proyek yang ditanganinya. Begitu sadar ada yang belum
diketahui, harus segera mencari tahu dan pastikan informasinya benar dan
akurat.
Proses di hulu memang awal
bagi sehatnya suatu kredit. Jika di awal mulus sesuai SOP biasanya sampai di
hilir lancar tanpa hambatan. Tetapi jika di hulu tersendat-sendat, biasanya
belum tentulah sampai di hilir, bisa jadi ditolak di rakomdit atau disetujui
dengan berbagai syarat sebagai mitigasi resikonya. Tetapi bagaimana kalau telah
dimitigasi dimana-mana, tetap saja ketemu resiko? Pertanyaan saya, resikonya seperti apa dulu
dan apakah mitigasinya sudah benar? Kalau sudah benar mitigasinya, dan proses
kredit telah dilaksanakan sesuai SOP, itu namanya resiko bisnis. Jangan takut,
jangan ragu, mantapkan hati untuk tetap konsisten bekerja optimal!
Obyek salah-salahan di internal Unit Kredit itu lazim terjadi. Dan
bahkan melibatkan Unit yang lain, terutama Unit Pengawasannya. Begitu case
terjadi, hampir semuanya terkejut dan berupaya dengan argumentasi masing-masing
dan dari sisi pandangnya sendiri-sendiri. Sesama Unit Kredit berantem dan Unit
Pengawasan (maaf) memanfaatkannya untuk mencari celah dan peluang untuk menjadi
temuannya. Alhasil...pemeriksaan khusus dibentuk dan proses panjang untuk
menghukum orang terjadi. Walah, walah, energi terkuras habis untuk menjelaskan,
menerangkan, dan terus diulang-ulang lagi, sampai para AO dan
pejabat yang bertanggungjawab atas case ini, kepercayaan dirinya untuk
memproses kredit merosot drastis. Tidak PD lagi....! Ke depan, kepinginnya seperti permainan
sepakbola ; ”pemain, hakim garis,
manajer tim /pelatih, dan wasit, pemahamannya sama terhadap aturan main,
sehingga ketika disemprit kita mengerti salahnya.....gitu!”. Oleh karena itu mari kita sama-sama
belajar meningkatkan Product Knowledge dan memahami seluruh peraturan yang ada.
Menurut hemat saya, yang
hampir 22 tahun bekerja di institusi ini, dan lebih dari 10 tahun di unit
kredit / pembiayaan, di sinilah indahnya bekerja memproses kredit /
pembiayaan....., resiko pun menjadi ajang kreativitas untuk dicari solusinya.
Tentunya resiko yang telah dimitigasi. Memang benar, Kredit / Pembiayaan
macet (Bad Debt) sendiri, selain menggemaskan juga membawa akibat
yang tak alang kepalang bagi kegiatan operasi bank. Ia pada akhirnya tak
ubahnya seperti rayap yang secara langsung bakal mengerogoti kemampuan modal. Tak
lain karena bank mesti menyediakan cadangan yang cukup untuk menghapuskannya. Dan
buntutnya, tentu saja kemampuan rentabilitasnya jadi terseok-seok. Belum lagi
jika kita memperhitungkan tambahan biaya untuk menyelesaikannya serta kerugian
biaya dan dana akibat berjalannya waktu (time
value of money).
Tentu saja kredit macet yang
menumpuk tinggi bisa disebabkan oleh 2 pihak, nasabah atau bank. Lazimnya jika
sang kredit mulai ngadat , kita dengan sangat sederhana menarik garis
hitam-putih untuk segera menyalahkan nasabah. Entah itu alasan kenakalan (delinquency) nasabah, mismanjemen,
piutang tak tertagih, atau alasan ekstern yang tidak mendukung. Padahal kredit
macet hakekatnya merupakan titik kulminasi serangkaian gejala dan aktivitas
yang melibatkan interaksi antara pihak
bank dan nasabah. Pada saat timbulnya gejala dini kredit macet, mungkin
merupakan saat terbaik bagi kita untuk
mengkaji balik. Dan pertanyaannya barangkali cukup sederhana, yaitu adakah kita
memiliki andil yang cukup atas terjadinya kredit macet?
Jika pertanyaan begitu,
tidak terlalu salah kiranya apabila kita bertanya, apakah kita memiliki klasifikasi yang baik atas jurus nomor satu pelajaran dasar
perkreditan, yaitu “Who is the
borrower?” Kalau produk itu Consumer Loan semisal KPR, maka untuk
mengidentifikasi borrower tidaklah terlalu sulit, tetapi jika itu Commercial
Loan bagaimana kita mengidentifikasikannya? Kadar kesulitan dan kerumitan
Commercial Loan seimbang dengan grade jabatan karyawan yang menanganinya. Oleh
karena itu secara special saya ingin menyoroti pembiayaan komersial ini. Tidak
dapat dipungkiri bahwa banyak kredit macet yang belakangan muncul tanpa kita
sempat tahu persis makhluk apakah gerangan sang debitur, oleh satu dan lain
hal, terkadang kurang dilakukan secara luas dan mendalam. Penguasaan terhadap
identifikasi, asal-usul, pengalaman, performance dan character nasabah (calon
debitur), menjadi kata kunci awal menuju tahap berikutnya. Jurus
nomor dua adalah perlunya jawaban yang jernih tentang “What business is he in?” Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa banyak
kredit yang gagal gara-gara Account Officer (AO) tidak tahu persis mengenai hakekat bisnis yang dijalankan
nasabah.
Kedua pertanyaan di atas
adalah unsur mutlak yang pasti
dapat dijawab dan harus dijawab dengan cepat oleh AO secara jernih. Jawaban atas kedua
pertanyaan di ataslah yang bakal menjamin
repayment kredit. Selain tentunya jurus nomor tiga dan empat, yakni “What
is the financing for and how will we get paid? “. Di sini baru kita sedikit bermain
dengan angka-angka. Apakah pembiayaan yang diberikan untuk modal kerja konstruksi, modal kerja
kontraktor, specific cash flow basis, asset based atau project financing? Masing–masing kegunaan
pembiayaan dan tipikal sumber pengambilan kreditnya, sudah barang tentu
menimbulkan dampak bagi ketepatan jumlah dan waktu serta terms and conditions
kredit yang ditetapkan oleh bank. Yang itu tadi, dalam bahasa texbook kita kenal sebagai first way out. Artinya, ya pengambilan kredit
itu semestinya berasal dari kemauan serta kemampuan membayar nasabah. Wujudnya
tercermin dalam angka–angka analisa yang dibuat.
Tapi, ya itulah tadi, tidak ada bank tanpa
kredit macet dan tak ada kredit yang tanpa risiko. Untuk
itu kita perlu perhitungkan dengan seksama, dan kita masuk pada dua jurus terakhir, “What is security /
support position and what
is the risk / reward trade off?” Di sini kita berbicara tentang
jenis, kualitas dan nilai agunan kredit untuk dapat menanggulangi risiko kredit
serta penghitungan trade off mengenai
proyeksi pendapatan dan resiko yang mungkin merugikan bank. Benar bahwa agunan bukanlah factor utama penilaian
bank atas pemberian kredit. Akan tetapi bagaimanapun agunan yang kuat akan memperkokoh posisi tawar menawar bank,
manakala kredit tersebut menjadi problem loan. Ini yang kita kenal
sebagai second way out. Lantas
bagaimana andai seluruh jurus telah kita gunakan tetapi toh kredit yang diberikan
menjadi problem loan juga? Ya memang tidak ada jalan lain, kecuali perlu
pengidentifikasian masalah secara jernih dan menyelesaikan dengan ketekunan
yang tak terbatas. Jelas tidak mudah dan
butuh stamina yang prima, karena itulah harga yang harus dibayarkan oleh bisnis
bank. Kita tidak bisa lari dan
bersembunyi darinya. Resiko bisnis jangan ditakuti dan “ditraumatisi”, karena
sepanjang seluruh prosesnya sudah dilakukan dengan benar, sesuai ketentuan dan SOP, maka second way out muncul sebagai solusi.
Modus Operandi
Penyimpangan-Penyimpangannya
Inilah
modus operandi penyimpangan-penyimpangannya yang umumnya terjadi berdasarkan
pengalaman pribadi saya sebagai AO. Baik disadari atau mungkin disengaja karena
terbatasnya SDM dan teknologi,
penyimpangan-penyimpangan tersebut meliputi berbagai tingkat atau tahapan proses
kredit / pembiayaan, antara lain sebagai berikut :
1.
Proses kredit / Pembiayaan
· Pemeriksaan oleh bank, pemeriksaan usaha debitur, pemeriksa
riwayat debitur yang tidak dilakukan dengan baik.
· Analisa keuangan tidak berdasarkan kepada data yang
dapat diyakini kelayakannya, proyeksi
keuangan yang tidak realistis atau bahkan tidak ada sama sekali serta rencana
pembayaran kembali yang tidak jelas
· Pencairan kredit telah dilakukan sebelum seluruh
persyaratan terpenuhi dan atau sebelum ada persetujuan tertulis dari kantor
pusat.
· Tidak ada pemberitahuan susulan dari debitur mengenai
perubahan struktural dari rencana proyeknya, misalnya prubahan site plant, tipe
rumah, spesifikasi teknis dan lain-lain.
2.
Monitoring dan pembinaan kredit / Pembiayaan
· Aktivitas mutasi rekening pinjaman debitur tidak dipantau
secara intensif, sehingga kita buta terhadap kondisi keuangan debitur yang lalu
dan existing.
· Penagihan terhadap kewajiban membayar bunga / bagi
hasil / margin tidak dilakukan secara
intensif, dan semata-mata hanya mengandalkan petugas outsourcing di lapangan
atau Area Collection di wilayahnya.
· Kunjungan usaha dan proyek tidak pernah dilakukan
secara periodik sehingga kondisi rill debitur tidak diketahui, dan baru tahu
ketika ybs masuk Kolektibilitas 2 dan seterusnya.
· Master file atau kredit file / arsip kredit, Dossier
A dan B yang tidak up to date dan tidak tertata dengan baik
· Selama memperoleh fasilitas kredit debitur tidak
pernah mengirimkan laporan-laporan baik laporan pengembangan usaha / proyeknya
maupun laporan keuangan.
· Laporan-laporan yang dikirimkan debitur tidak dipelajari
secara seksama, dan hanya menjadi onggokan arsip yang tidak pernah ditengok dan
baru dipelajari setelah timbul case.
· Plafond kredit yang sudah ditetapkan tidak dimanfaatkan
secara maksimal, sehingga secara tidak sadar bank menanggung idle fund dan tidak
bisa memperoleh profit secara optimal.
· Untuk kredit / pembiayaan dengan sifat non-revolving,
baki debet belum ada penurunan walaupun sudah terjadi penjualan rumah yang
menjadi obyek pembiayaan bank.
· Dana yang telah ditarik debitur tidak sesuai dengan termin dan prestasi proyek di lapangan atau
dana cair hanya atas dasar bukti-bukti dokumen belaka tanpa OTS langsung ke
lapangan.
· Terjadi salah penggunaan, misalnya dana yang
seharusnya untuk konstruksi digunakan untuk membeli tanah atau dana yang seharusnya untuk modal kerja digunakan untuk
investasi.
· Permohonan perpanjangan kredit / pembiayaan tidak disampaikan 1 bulan sebelum jangka waktu
berakhir, tetapi dilakukan tiba-tiba atau setelah jangka waktu habis dan itu
pun karena ybs tidak mampu melunasinya.
· Sekalipun jangka waktu sudah berakhir, tetap tidak
ada permohonan perpanjangan dari debitur walaupun sudah diperingatkan melalui
surat oleh bank dan pihak bank pun juga tidak melakukan action apa-apa kecuali
korespodensi searah.
· Perpanjangan kredit / Pembiayaan tidak sesuai dengan
ketentuan PBI , dan semata-mata hanya
untuk memenuhi performance bank tanpa melihat kondisi debitur yang sebenarnya.
3.
Hukum
/ Legal
· Pendatangan perjanjian kredit / akad tidak sesuai
atau tidak di lakukan oleh orang yang syah sesuai dengan kewenangan dan hak
legalitasnya.
· Tidak dilakukan review materi pengikatan sehubungan
dengan perubahan fasilitas kredit / pembiayaan,
karena dasarnya hanya percaya dengan notaris dan copy paste terhadap
materi-materi akad sebelumnya, serta tidak berkonsultasi dengan Divisi Legal di
Kantor Pusat.
· Adanya salah ketik yang cukup berpengaruh seperti
tanggal, nama, bahasa materi pengikatan dan lain-lain, serta lembaran akad yang
lupa atau terlewat sehingga tidak diparaf dan ditandatangani oleh pihak-pihak
yang terkait dalam akad tersebut.
· Notaris tidak menyerahkan Dokumen Pokok tepat waktu
dan Bank lalai terhadap kontrol dokumen pokok yang Lewat Ambang Toleransi (LAT)
seperti Sertifikat Tanah dan IMB.
4.
Agunan
· Taksasi
agunan disesuaikan dengan besarnya permohonan debitur, surat sakti
dan unsur, like and dislike petugas penilaian atau membiarkan Penilai
Independen berkolusi dengan calon debitur.
· Rasio Agunan dipas-pasin dengan permohonan,
walaupun sebenarnya kurang dari ketentuan yang dipersyaratkan, atau main
pangkas terhadap plafond sehingga pas sesuai dengan persyaratan walaupun secara
realita kebutuhan dana debitur tidak terpenuhi, sehingga berpotensi proyek
mandeg di tengah jalan.
· Agunan tidak layak jual baik karena alasan ekonomis
maupun alasan hukum.
· Tidak dilakukan
pemeriksaan fisik di lapangan, karena semata-mata percaya penuh dengan Tim
Appraisal Independen.
· Agunan tidak sesuai dengan yang di akte perjanjian
kredit, sertifikat agunan dikuasai bank lain atau Sertifikat Agunan Tanah (
seperti HGB / Hak Pakai / Hak Pengelolaan ) tidak berlaku lagi.
5.
Lain-lain
· Agunan
dimiliki satu orang untuk beberapa fasilitas dan debitur, sehingga patut diduga
ada sejenis calo atau broker agunan yang niatnya tidak baik. Sehingga ketika pembiayaan ini bermasalah, eksekusi
terhadap agunan terasa njelimet, rumit
dan berputar-putar.
· Perlu diwaspadai adanya mafia kejahatan bank yang
meliputi dealer-dealer Kendaraan Bermotor yang ngakunya bisa menjamin dan
mengcover seluruh tunggakan debitur jika debitur tersebut bermasalah, tanpa ada
bukti cash collateral yang meyakinkan dan PKS yang mantap, prudent dan
mengamankan seluruh kepentingan bank.
· Hati-hati dengan pemalsuan dokumen agunan sehingga
pastikan dokumen asli dan tidak ganda, dan pastikan fisik agunan Asli dan bukan sepuhan atau palsu
semisal Emas untuk produk
Gadai.
Disamping
memanfaatkan hasil kerja unit lain seperti
IAD, CCRD, AMD dan pihak eksternal seperti BI dan BPK, maka seyogyanya
Unit Bisnis Cabang sebagai ujung tombak kredit / pembiayaan harus mampu
menciptakan suatu kondisi kerja dimana seluruh aparat kredit dijamin tidak akan sengaja melakukan
penyimpangan yang dapat merugikan bank. Caranya antara lain dengan
menyelenggarakan forum komunikasi / diskusi, classical meeting atau sharing terhadap
kasus-kasus kredit bermasalah atau yang berpotensi menuju problem loan..
Kalau Unit
Manajemen Resiko memiliki BRO di cabang-cabang sebagai tangan panjang Kantor
Pusat untuk memitigasi resiko yang
sifatnya future, maka saya menyarankan Unit Kredit (Consumer dan Commercial
Loan) memiliki Loan Review di cabang-cabang yang tugasnya mereview kembali kelengkapan administrasi
debitur yang sifatnya past performance dan dilakukan terus menerus sehingga
para AO lebih ”ngeh“
menyelesaikan kekurangannya dan lebih
berkonsentrasi mengejar ekspansi. Saya menyarankan demikian, karena salah satu
bank swasta besar telah melakukan hal ini untuk membantu AO agar tidak terjebak
ke ”administration minded“, dan tetap berfokus ke realisasi baru.
Sering secara apriori sebagian orang mengatakan
bahwa bila semua ketentuan tersebut (PBI, PD, SE dan SOP) diterapkan, maka akan sangat sedikit kredit /
pembiayaan yang dapat direalisasikan karena kondisi di lapangan sudah “lumrah“ dituntut adanya
penyimpangan. Pernyataan tersebut harus
dibantah dan tidak boleh terbersit sedikit pun di dalam niat aparat,
apalagi menjadi bahan pertimbangan. Hari
Gini , masih ada yang menganggap penyimpangan kredit / pembiayaan itu lumrah,
dan jamak-jamak saja..., Apa Kata Dunia ???
$$$********$$$ Cilebut-Jombor Kidul, 28 Oktober 2014. @@@@@
Langganan:
Postingan (Atom)