Rabu, 11 Maret 2015

Alasan mengapa “bunga” di bank syariah lebih besar

Alasan mengapa “bunga” di bank syariah lebih besar

“Bank syariah itu tidak syariah!”. Begitu tulis seseorang di suatu halaman web. Saya bertanya, mengapa? “Karena ‘bunganya’ lebih besar dari bank konvensional!”
Bank adalah lembaga mediator antara orang yang memiliki kelebihan dana dengan orang yang membutuhkan. Bentuk penyaluran uang kepada nasabah ini ada berbagai jenis. Salah satunya adalah pembiayaan.
Baik bank konvensional dan bank syariah melakukan aktivitas pembiayaan. Jika di bank konvesional disebut kredit maka di bank syariah biasa disebut murobahah.
Perbedaan mendasar antara kredit dan murobahah terletak pada akad. Pada bank konvensional, pemberian kredit berarti nasabah diberikan uang. Lalu masyarakat diberi kebebasan untuk menggunakan uang tersebut guna membeli sesuatu. Bank tidak berhak tahu atas penggunaan uang nasabah. Bagi bank yang terpenting adalah nasabah harus membayar kredit tersebut. Pokok pinjaman disertai bunga yang ditetapkan oleh bank.
Pada bank syariah, murobahah bukanlah pemberian kredit. Melainkan jual beli yang keuntungannya diketahui oleh dua pihak. Sehingga skenarionya adalah sebagai berikut. Nasabah meminta bank untuk membelikan sesuatu. Bank membeli barang yang diminta. Kemudian barang tersebut dijual kepada nasabah. Keuntungannya diambil dari selisih harga barang yang diminta.
Karena bank dilarang melakukan aktivitas jual beli maka hak pembelian diwakilkan oleh nasabah. Maka dalam akad murobahah akan ada akad tambahan yaitu wikalah (perwakilan). Sehingga mekanismenya hampir sama dengan pemberian kredit pada bank konvensional. Hanya saja bank harus tahu barang yang beli oleh nasabah.
Perbedaan selanjutnya adalah keuntungan yang diambil oleh bank. Bank konvensional mengambil keuntungan dengan membebankan bunga pada nasabah. Tarif bunga akan mengacu pada tingkat suku bunga yang dikeluarkan oleh BI. Sehingga mengikuti mekanisme pasar.
Sedangkan pada Bank syariah, keuntungan diambil disebut margin. Sama dengan bank konvensional, perhitungan margin dalam murobahah didasarkan pada tingkat suku bunga pasar. Bahkan, margin murobah lebih tinggi dari tingkat suku bunga yang diberikan oleh bank konvensional.
Bijak Dalam Memahami Alasan
Mengacu pada dua hal tersebut, tidak salah jika ada masyarakat yang mempersepsikan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional . Yang berbeda hanya bungkusnya saja. Jika di bank konvensional namanya biasa saja maka pada bank syariah ada embel-embel syariah-nya. Jika di bank konvensional namanya bunga maka pada bank syariah namanya margin keuntungan. Bahkan lebih tinggi dari bunga!
Penyataan bahwa bank syariah tidak murni syariah pernah saya lontarkan juga. Akan tetapi waktu itu dikarenakan oleh ketidaktahuannya saya tentang bank syariah. Setelah belajar tentang ekonomi syariah dan bank syariah, walaupun baru sedikiti, maka saya mengetahui apa alas an dua hal tersebut terjadi.
Pertama, terkait perwakilan pada murobahah. Bank adalah mediator. Bank bukanlah penjual atau pembeli melainkan pihak ke-tiga atau perantara.  Sehingga bank dilarang melakukan jual beli. Karena tidak memungkin bagi bank untuk melakukan transaksi jual beli maka diltambahlahh akad perwakilan dalam transaksi murobahah.
Kedua, margin yang diidentikkan dengan bunga. Menetapkan “bunga” yang melebihi dari bank konvensional adalah bukan tanpa sebab. Bank syariah telah belajar dari krisis yang terjadi baik di dalam negeri maupun level internasional. Adanya krisis akan menyebabkan suku bunga yang bergejolak. Hari ini 6%, tahun bisa depan 8%, tahun berikutnya bisa jadi 20%!
Menggantungkan tingkat suku bunga pada mekanisme pasar akan menimbulkan ketidakpastian.  Alih-alih mengikuti menakisme pasar, hal tersebut bisa menyebabkan ketidakamanan pada nasabah. Jika krisis terulang maka akan menjadi beban buat nasabah. Cicilan akan melambung tinggi. Akhirnya, kredit macet acapkali terjadi.
Di sisi lain bank syariah menetapkan “bunga” secara fix. Tingginya tingkat margin dalam murabahah memang tidak lepas dari dijadikannya tingkat suku bunga dan tingkat inflasi sebagai acuan dalam penentuan harga jual produk murabahah Namun demikian, masyarakat tidak perlu khawatir dengan pergolakan inflasi dan suku bunga. Artinya, terjadi krisis ataupun tidak maka cicilan yang harus dibayar oleh nasabah tidak akan berubah. Sama seperti yang dicantumkan pada saat akad. Tidak akan berubah. Bagaimanapun kondisinya.
Dengan demikian, penetapan “bunga” lebih tinggi pada dasarnya untuk mengantisipasi kejadian ekonomi pada masa mendatang. Jika lebih rendah maka itu adalah keuntungan bagi bank. Jika lebih tinggi maka kerugian itu menjadi tanggung jawab bank.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar